Surprise
itu mengejutkan dua bola mata indahmu. Lelaki asal Lampung itu menangis
tersenyum. Dia mengambil posisi setengah duduk yang di tumpang dengan bantal.
Tak pernah aku seromantis ini di hadapannya. Aku tersipu malu di perlihatkan
keluarganya. Seperti yang mereka tahu kalau hubungan kita sudah menginjak jalan
serius itu kalimat yang sering ia yakinkan pada orang tuanya, dan orang tuaku.
Ya meski kami sendiri masih di umur muda.
Hanya saja
memang keegoisan mencoba menguji cinta kami. Aku mencintai kembarannya. Tapi
malah kembaran yang satunya yang mencintaiku dengan tulus. Saat aku lihat air
mata itu tulus keluar dari matanya aku mengingat bagaimana dulu betapa ia
sangatlah menyayangiku. Walau sebenarnya aku tidak mencintainya. Dia banyak
mengajariku. Bukan hanya akademis. Dan dia yang mengenaliku dengan aurat.
Bahkan dia menganjurkan aku untuk mengenakan jilbab. Sampai pada waktu itu, dia
membelikan ku jilbab putih agar ia bisa lihatku di sekolah dengan jilbab yang
di belikannya. Perdana ia gunakan, dan senyum pada curi-curi pandang di koridor
kelas. Terekam jelas. Senyum yang indah dari wajah yang dulu tak ku suka.
Masih ingat
benar, ketika keputusan kita untuk tidak menjalin hubungan lagi. Bukan kita
mungkin dia, atau malah aku, dengan caraku agar terlepas darinya. Aku rasa, rasa
itu tidak akan pernah kembali. Dan ternyata itu malah menumbuh suburkan
perasaan yang sudah ku siram dengan minyak tanah, hingga ia tak tumbuh. Tapi aku
salah. Entah bagaimana caranya, rasa itu tumbuh subur di atas penderitaannya, yang
sudah memutuskan untuk berakhir dari hubungannya denganku. Dan sekarang aku
kembali, ketika tubuhnya mulai tak berdaya.
Kami semua
ramai meneriakkan agar ia meniup lilinnya. Dan diiringi doa.
Aku tidak
tahu sedikitpun doa apa yang ia panjatkan pada ALLAH SWT. Suasana menjadi riuh
dengan wajah gembira. Beberapa keluarganya langsung menyantap makanan yang di
sediakan ala kadarnya seperti minuman bersoda dan cake. Ayahnya yang telah lama
bercerai dengan ibunya pun datang untuk menyaksikan hari ulang tahunnya. Sedang
kembarannya, ia tidak pernah sedikit pun pengertian dengan kembarannya. Lalu mengapa
aku lebih mencintai kembarannya yang tidak memiliki hati itu? Sudah ku kubur
perasaan itu, dan sudah terganti dengan dia yang ada di hadapanku. Kini tak kan
ku lepas lagi untuk ia pergi dari sisi ku.
Dini hari
itu ku minta padanya untuk tidak memikirkan kakaknya yang acuh padanya biarkan
malam ini milik kita. Aku mencoba duduk di hadapannya dengan nyaman. Dia masih
kaku padahal kami sudah berhubungan mencapai 3 tahun. Sedang untuk memegang
tangan saja ia harus meminta izin padaku terlebih dahulu apabila tidak ku
izinkan dia tidak memaksa, malah dia akan sembunyikan tangannya di kantong
saku.
Rupanya hati
itu masih canggung, berhadapan denganku. Atau karena tingkahku. Aargh tak
penting itu, aku di sini untuknya. Untuk selalu bersamanya. Senyum-senyum genit
mulai berdatangan. Dan kalimatnya selalu mengkhawatirkan aku.
“Phe kau
gak di cari mamah sama bapak?”
“engga, aku
udah bilang aku mau jagain kamu.”
“Phe..”
“Iya a.”
Dia memanggilku, karena mataku yang selalu jalan-jalan tidak memerhatikan
matanya saat berbicara.
Dia
mengambil hp-nya dia perdengarkan sebuah lagu. Aku hafal betul lagu itu. Dengan
petikan gitar onci. Kita sama resapi lagu bersamaan. Kini air mataku yang malah
jatuh dan tanganku mengambil tangannya. Katanya lagu ini perwakilan kalimat
untuk hidupku yang selalu sama kamu.
Lagu
tercipta untukku yang kami perdengarkan makin lama makin habis. Kami larut dan kami sama-sama membahas
tentang lagu yang kami perdengarkan bersama. Aku yang masih polos menanyakan.
Apakah benar itu salah satu ucapan hatimu.
“iya
bener., kamu gak percaya?”
“bukannya
gak percaya, Cuma aneh aja sih.”
“Percayalah
phe, waktu kita berpisah tidak sebentar, 12 bulan lebih bukan? Itu bukan waktu
yang sebentar phe, dan tidak ada yang mampu gantikan kamu di hati aa, meski
banyak yang suka, banyak yang mendekat, hati ini menolak, sampai detik ini
terlalu manis buat aa melupakan masa-masa bersama. Phe a boleh peluk phe? untuk
terakhir kalinya?”
“Maksud a
apa ya ga ngerti?”
“a boleh gak
pelukan phe?”
“hm....”
“kenapa? Gak
boleh ya, ya sudah.”
“hehehe....
engga kok a, aa boleh kok peluk phe. Tapi jangan lama ya, takut di omelin
mamah.”
Kami
berpelukan tidak meresapi hanya berpelukan karena kasih sayang yang telah ada
dan masih ada. Nafas hangatnya terasa dalam pori-pori jilbab yang pernah di
belikannya dulu. Dia selipkan pesannya padaku untuk meraih cita-citaku. Untuk menurut
pada orang tuaku.
Kalimatnya
terbata-bata sulit terucap.
“Adek kalo
aa punya salah, maafin aa ya dek. Adek kamu gak boleh ngejawab kalo diomongin
orang tua kamu. Itu karena beliau sayang sama kamu. Nanti kamu akan merasakan
semuanya sayang.”
“iya aa
sayang aku mengecup pundaknya.”
Dia
membercandaiku di pelukan yang sangat lama di tengah jam 02.35 pagi.
“Adek
badannya empuk kayak kasur, kapan lagi akan aa rasakan kenyamanan ini. Adek
jangan lupa ya pesen aa sama adek. Dek titip mamah sama adik-adikku yah.”
“Iya aa.”
“ Aa” aku
berbisik lirih
“Phe
sayaaaaaaaaaaaaaaaaaaaang banget sama aa.”
Aa terdiam
hembus nafasnya masih terasa di kupingku. Anggukkan kecil juga terasa. Aku
bercerita dalam pelukan cintanya. Aku bercerita tentang masa yang terlewati. Aku
bercerita betapa menyesalnya diri ini terlepas darinya. Aku memeluknya erat aku
enggan untuk melepas pelukan itu. Aku tak ingin, sungguh tak ingin melepasnya
cepat. Lamat terasa tangan yang memegang tubuh terlepas dan mengapa tubuhnya
makin dan makin berat pada sandaran tubuhku. Ku ambil pundaknya dan ku lihat
wajah putih itu. Hidung mancung itu tidak hangat lagi dengan hembus nafasnya.
Sedang orang sekitar sudah tengah lelap dalam tidur mereka. Seketika kepanikan
terjadi, menguasai otak dan hati ini.
Tak peduli
akan mengganggu orang-orang yang tengah terlelap di kamar. Ku panggil dokter
sekencang aku berteriak, hingga orang yang berada di dalam ruangan sontak
terbangun dan mereka menghampiri. Suster yang berjaga menghampiri kamar yang
aku gaduhkan. Di periksanya aa yang sudah ku baringkan di tempat tidur. Kali ini
pelukan itu, akan terlepas. Pelukan itu, pelukan pertamanya, dan ternyata
pelukan itu pun pelukan terakhir darinya. Wajahnya berseri, dia tersenyum
manis. Di situ ku temui kalimat suster yang menujam jantungku. Memeras semua
air mata dan emosi. FITO MENINGGAL DUNIA.
Dia memang
telah pergi tapi dia selalu di hati, dan dia selalu ada untukku. Kapan pun aku
mau, karena dia sekarang sudah ada tepat di hatiku. Dan jangan pernah
menyia-nyiakan orang yang kamu sayang. J terutama
orang tua adik, kaka. Dan tetap menyayangi orang-orang yang menyayangimu, dan
membencimu.